Relasi Etika dan Hukum Islam

Pertanyaan tentang bagaimana hukum itu dapat di ketahui telah menarik perhatian para ahli hukum Islam untuk selagi yang lama. Pada abad-abad awal, perbincangan sengit dan bahkan permusuhan berpusat pada daerah dan peran prinsip-prinsip etika dan akal di dalam pengembangan formalitas keagamaan.
Di satu sisi, tersedia Mu’tazilah yang berpendapat bahwa keadilan itu dapat di ketahui lewat akal manusia. Di segi yang lain kaum tradisionalis (ahl al-hadits) berpendapat bahwa akal itu berubah-ubah, dan di karenakan itu keadilan hanya di wujudkan lewat wahyu.
Namun, di zaman modern, perbincangan semacam ini secara resmi telah mereda. Meskipun muncul kaum liberal yang mendambakan memberi tambahan rasionalitas dan peran akal yang jauh lebih besar di dalam artikulasi hukum Islam. Di tengah-tengah itu muncul juga kaum fundamentalis yang menyaksikan hukum sebagai sumber dari semua moralitas dan keadilan.
Kaum sekularis mengecualikan hukum Islam dari tiap-tiap kegunaan publik. Namun demikian, apa pun sifat perbincangan yang tersedia di antara kelompok-kelompok ini, tidak ulang di utarakan di dalam arti moralitas dan hukum. Masalah hukum Islam dan moralitas telah di keluarkan dari semua pertimbangan di zaman moderen ini.
Etika berkaitan dengan standar-standar yang memilih apa yang mesti di lakukan manusia. Etika juga membahas kebajikan, tugas dan sikap individu dan masyarakat. Selain itu, etika berkaitan dengan kebiasaan istiadat, formalitas dan juga kepercayaan dan pandangan dunia. Pada selagi yang sama, tersedia bidang lain, seperti hukum, perasaan dan kebudayaan manusia, yang membahas subjek sama dengan yang di tangani oleh etika.
Jadi orang bisa saja bertanya, apa perbedaan antara etika dan hukum? Atau apa interaksi antara keduanya.
Tujuan hukum Islam dipandang sama dengan etika Islam, yakni membangun kehidupan manusia atas basic keutamaan (ma’rufat) dan membersihkannya dari keburukan (munkarat). Kebajikan atau ma’rufat secara umum adalah serasi dengan fitrah manusia dan persyaratannya, dan keburukan atau munkarat adalah kebalikan dari kebajikan.
Melalui syariat Islam, kami dapat mendapatkan gambaran yang menyadari tentang apa saja keutamaan dan keburukan dan ini menjadi norma-norma yang mesti di patuhi oleh individu dan masyarakat.
Keluarga Berantakan
Hukum Islam termasuk semua faktor kehidupan manusia merasa dari ritual keagamaan sampai sosial, ekonomi, sistem peradilan dan sebagainya. Padahal, hukum Islam punya cakupan dan tujuan yang jauh lebih luas di bandingkan dengan sistem hukum Barat. Seperti etika Islam, hukum Islam mempunyai tujuan menyesuaikan interaksi manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia.
Oleh di karenakan itu, baik hukum Islam maupun etika Islam tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Dalam hukum Islam, tersedia batasan-batasan tertentu yang di tentukan oleh Allah (huddullah) yang di kenakan pada manusia untuk mencegahnya mengikuti permintaan dan nafsunya sendiri.
Allah menyatakan tentang halal (halal) dan haram (haram), keutamaan dan keburukan. Ini adalah batas (hudud) yang mesti di hormati dan di patuhi oleh tiap-tiap Muslim, dan jikalau dia melanggar maka dia jalankan kekeliruan atau kejahatan.
Batasan (hudud) ini merupakan sanksi hukum Islam atau syariah. Oleh di karenakan itu di sebut hukum hudud. Selain memberi tambahan rasa tanggung jawab kepada Allah dan semua umat manusia, batasan-batasan (hudud) ini bakal melindungi hak-hak manusia di dalam segala faktor kehidupan.
Oleh di karenakan itu, hukum Islam atau syariah bakal menanggung dan melindungi kesejahteraan manusia (mashalih al-`ibad). Misalnya, untuk melindungi garis keturunan manusia, hukum Islam dengan menyadari memberi tambahan hukuman bagi perzinahan (zina).
Kesucian sebagai kebajikan ethical punya daerah yang amat tinggi di dalam kode hukum Islam yang menyesuaikan interaksi antarjenis kelamin. Al-Qur’an telah mengambil keputusan perintah yang komprehensif untuk melindungi dan melindunginya.
Kepekaan Islam yang amat besar tentang kesucian tercermin di dalam hukuman untuk perzinahan. Dalam Al-Qur’an tidak di temukan rajam sampai mati di tetapkan sebagai hukuman untuk perzinahan dan untuk kejahatan lain, betapa pun seriusnya. Jika perzinahan atau percabulan di hukum enteng atau tidak di hukum sama sekali, itu dapat berdampak buruk bagi kehidupan manusia.
Ini bakal menghancurkan basic susunan keluarga, menyebarkan berbagai penyakit baik fisik maupun spiritual, dan sebabkan keluarga berantakan. Namun, perbedaan yang tidak menyadari dari tindakan ibadah sebabkan kesenjangan antara kebajikan Islam dan hukum Islam.
Khaled menyatakan bahwa persoalan ini berasal dari pendekatan normatif para ahli hukum di dalam berurusan dengan hukum-hukum hudud. Seolah-olah hukum itu sendiri adalah salah satu manifestasi dari konsep-konsep etika di dalam kehidupan. Oleh di karenakan itu, pendekatan ini mengarahkan mereka untuk memusatkan perhatian pada anggota luar hukum itu sendiri, bila jenis-jenis hukuman di dalam prosedur pidana Islam, bukan pada tingkah laku yang menanggung hukuman tersebut.
Menjaga Moralitas
Khaled juga berpendapat bahwa nilai-nilai etika tidak di wujudkan di dalam hukuman berat, tapi nilai-nilai pada sebenarnya beroperasi di dalam tingkah laku dan tindakan tidak bermoral yang mengupayakan untuk di hambat oleh hukum. Misalnya, di dalam mengonsumsi minuman beralkohol, larangan tingkah laku tidak etis adalah nilai memang dari syariah dan bukan cuman hukuman yang di tetapkan berdasarkan bukti tekstual itu sendiri.
MH. Kamali berpendapat bahwa perbedaan antara hukum Islam dan moralitas terletak pada kategorisasi ethical beruas lima di dalam sistem hukum Islam. Dalam yurisprudensi Islam, hukum mesti dan haram punya implikasi hukum, sedang tiga lainnya – sunnah, makruh, dan mubah – terletak pada ranah moralitas atau etika yang tidak dapat di perlakukan sebagai hukum.
Meskipun demikian, Kamali menyatakan fakta bahwa di dalam latar belakang peristiwa penduduk Islam tersedia lembaga lain yang berperan di dalam melindungi moralitas, yakni lembaga hisbah. Ini merupakan gambaran dari peran penting yang di ambil alih oleh umat Islam di dalam mempromosikan nilai-nilai etika secara umum.
Korupsi dan penyuapan bisa saja menjadi telah menjadi anggota dari kehidupan keseharian kita, dan begitu juga mengonsumsi obat-obatan. Perbuatan tersebut boleh menjadi dapat di nyatakan sah oleh suatu hukum. Namun, perbuatan-perbuatan tersebut tidak bakal pernah di pandang benar secara ethical di dalam Islam.
Jelas, ini menyatakan fakta bahwa apa yang bisa saja menjadi hukum di suatu negara tapi belum pasti etis. Al-Qur’an penuh dengan pesan yang menyadari tentang etika (akhlak), standar tingkah laku yang di harap sehingga umat manusia menerapkannya di karenakan Dia telah mengutus manusia ke dunia ini sebagai khalifah-Nya. Ini termasuk semua faktor kebenaran, kejujuran, kebaikan, integritas (konsisten di dalam perkataan dan perbuatan), mencukupi prinsip dan keikhlasan.
Islam tawarkan sistem etika yang unik. Dalam Islam, etika dan hukum Islam berakar pada fitrah primordial manusia yang tidak bersalah dan baik jikalau di korupsi. Demikian pula etika dan hukum saling melengkapi dan tidak saling bertentangan.
Dalam hal ini, apa yang salah secara ethical juga ilegal, dan hukum hanya mengizinkan apa yang bermoral. Selain itu, di dalam Islam baik moralitas maupun hukum berasal dari sumber-sumber agama dan ajaran agama di praktikkan lewat moralitas dan hukum. Dengan demikian, hukum Islam dan etika Islam tidak dapat di pisahkan satu sama lain.